Oleh : Puput Julianti Damanik S.Pd
Ruang Terbuka Hijau merupakan sebuah kondisi dalam hal ini
lingkungan, yang bermanfaat besar bagi keselamatan kehidupan seluruh
makhluk hidup. RTH sangat penting kehadirannya untuk menunjang
peresapan air hujan ke dalam tanah yang dapat menghindarkan bencana
alam seperti banjir, tanah longsor dan polusi udara serta juga dapat
menghindarkan peningkatan suhu udara seperti yang baru-baru ini terjadi
di kota Medan, yakni dengan suhu tertinggi mencapai 37 derajat celcius.
Kota Medan yang terbentang di area seluas 26,510 ha sama dengan
265,10 kliometer persegi atau 3,6 dari total luas Provinsi Sumatera
Utara (baca buku panduan pariwisata Medan 2012) kini tengah dikepung
oleh gencarnya pembangunan berbagai keperluan seperti mall, pertokoan,
perumahan, dan berbagai sarana komersial lainnya. Pola penggunaan lahan
yang seharusnya menerapkan nilai sosial telah berubah menjadi nilai
profit. Hal ini lah yang menyebabkan RTH terus menyusut.
Betonisasi dari gedung ke gedung terus meningkat begitu juga dengan
kawasan pemukiman kumuh. Anak-anak sudah tidak mengenal kata hijau,
rimbun dan sejuk, mereka hanya terbiasa dengan indahnya hidup di masa
kecil dengan berekreasi di dalam ruangan seperti mall. Situasi seperti
ini memang mau tidak mau terjadi dengan alasan seiring meningkatnya
jumlah penduduk, keperluan dan kebutuhan yang mendorong terciptanya
ruang terbangun berkepadatan tersebut.
Bangunan-bangunan baru tersebut juga erat kaitannya dengan nilai
sebuah lahan dan lokasi sentral yang dapat menghasilkan keuntungan
besar khususnya bagi pemilik modal. Apalagi semakin ke arah pusat kota
nilai sebuah lahan itu menjadi semakin tinggi, anggapan tersebut
membuat setiap orang menyampingkan kata RTH dan mengubah lahan RTH
sebagai komoditas produksi.
RTH kota yang benar-benar telah menempati lokasi strategis dianggap
sebagai lahan yang tidak produktif. Contohnya di Lapangan Merdeka yang
menjadi pusat kuliner atau Merdeka Walk, dahulunya menjadi tempat
bermain anak-anak dan lokasi strategis tempat berteduh karena banyak
pohon-pohon besar nan rindang kini telah berubah menjadi tempat wisata
kuliner dengan penawaran harga yang sangat mahal. Sehingga kesenjangan
antar lapisan masyarakat pun tidak dapat dihindarkan.
Hukum alam inilah yang mempercepat alih fungsi ruang terbuka kota
yang berlokasi di daerah strategis yang jelas-jelas produktif untuk
manusia/lingkungan tetap dianggap tidak produktif bagi sebagian orang
yang memiliki kepentingan dan kemudian dikonversi seolah-olah menjadi
fungsi yang produktif karena menghasilkan profit.
Padahal, ada sebuah kota kecil di Brazil, Curitibas yang dahulunya
menjadi kota terkumuh, termacet dan minim RTH kini telah berbenah
dengan meningkatkan rata-rata luas RTH per kapita dari 1 m2 menjadi 55
m2 selama 30 tahun. Sebagai hasilnya kota tersebut sekarangmerupakan
kota yang nyaman, produktif dengan pendapatan per kapita penduduknya
yang meningkat menjadi dua kali lipat. Hal inilah yang menunjukkan
bahwa anggapan pengembangan RTH yang dapat mengurangi produktivitas
ekonomi sebuah kota tidak terbukti.
Upaya Peningkatan RTH dan Masalah Implementasinya
Masalah peran dan penerapan RTH ternyata pemerintah lebih tahu dan
menyadarinya. Maka melalui Undang- Undang Nomor 26 tahun 2007
pemerintah mencoba melakukan upaya-upaya dalam peningkatan dan
perbaikan tata ruang. Dalam sebuah kota, RTH harus mencapai 30 persen
dari total luas wilayah, dengan rincian 20 persen untuk RTH Publik dan
10 persen untuk RTH Privat (baca Analisa, Sabtu 5 Juni 2012).
Dengan UU tersebut berbagai upaya sudah diterapkan, namun yang
disayangkan upaya seperti sosialisasi, penyuluhan, seminar, pelatihan
dan upaya legal formal lainnya minim dengan implementasinya. Akhirnya
tak salah ada statement keluar menyatakan bahwa UU itu hanya gagah di
laporan atau kertasnya saja.
Masalah-masalah implementasi dari upaya yang telah dilakukan
sebenarnya ada di setiap individu masyarakatnya. Masalah yang muncul
pertama adalah keyakinan kepada profit yang didapatkan bila membuat
bangunan di perkotaan, sehingga jalur yang dibuat pemerintah untuk
program RTH yang sering melibatkan lahan masyarakat berat untuk
diberikan kepada pemerintah.
Selain itu, bertambahnya jumlah orang yang datang ke kota atau yang
memang sudah menetap di kota, kemudian membuat pemukiman baru dan jelas
berpengaruh dengan semakin bertambahnya aktifitas masyarakat tersebut.
Kurangnya pengetahuan dan kesadaran masyarakat juga menambah permasalah
apalagi tidak ada ketegasan tentang denda yang diberikan bagi
penghancur atau perusak RTH dari pemerintah.
Pemimpin yang Kuat Dasar RTH Terwujud
Upaya yang dilakukan oleh pemerintah pusat dengan membuat UU dapat
berjalan apabila tiap-tiap wilayah/kota khususnya bagi pemerintahan
dalam hal ini Medan ikut memberi partisipasinya dengan menggerakkan
masyarakatnya.
Beberapa saran kepada Pemko Medan yang diusulkan bukan sebuah
pendekatan yang sifatnya pilihan, tapi ini lebih bermakna alternatif
yang bertujuan membangun.
Pemko Medan telah melakukan kebijakan pembokaran beberapa taman kota
di beberapa ruas jalan dengan tujuan mengurangi kemacetan, padahal
taman kota tersebut dapat dijadikan lahan untuk membuat taman kecil
yang hijau. Walikota menyebutkan bahwa pemotongan dan pembongkaran
taman tidak akan mengganggu RTH, sebab pohon-pohon yang ada di taman
itu kebanyakan pohong pinang biasa dan akan diganti pohon dengan
pepohonan yang bisa tumbuh besar dan rindang (baca Analisa 13 Juni
2012).
Ini artinya Pemko Medan harus lebih bekerja keras lagi untuk
meningkatkan RTH dengan beberapa masalah implementasi yang berhubungan
dengan masyarakat khususnya penyediaan lahan, setelah itu kesadaran
masyarakatnya. Karena masalah kesadaran masyarakat yang terus-terusan
membangun dan merusak RTH adalah salah satu hambatan terbesar.
Untuk itu, pendekatan Pemko Medan yang dapat dilakukan adalah
mencontoh Kota Curitiba atau kota kecil di Brazil yang menerapkan
strategis insentif yang cerdas yakni membangun taman kota dan Recycle
Center.
Masyarakat akan diberi hadiah bila memberikan sampahnya kepada
Recycle Center. Sampah kemudian didaur ulang dan disulap menjadi banyak
jenis kerajinan tangan. Masyarakat juga diimbau untuk dapat menanam
pohon dan merawat taman. Tak heran bila Curitiba mempunyai nilai
tertinggi daur ulang sampah sedunia yakni 70%, karenanya, pendapatan
perkapita meningkat 66%. Pembangunan taman juga menjadi jawaban atas
permasalahan banjir yang selama ini terjadi (baca www.scribd.com).
Selain itu, hal lain yang dapat dicontoh adalah kebijakan Curitiba
yang mewajibkan para pengembang perumahan atau sebuah perusahaan, yang
apabila ingin membangun sebuah gedung harus bersedia membuat sebuah
permukiman khusus untuk para pemukiman kumuh. Jika tidak maka bangunan
tersebut tidak diizinkan untuk berdiri di Curitiba.
Hal ini memang tidak semudah membalikkan telapak tangan. Pemko
khususnya pemimpin yang ada di dalamnya (Walikota) selaku stake holder
di Kota Medan harus dapat membuat suatu kebijakan yang dapat diterima
oleh masyarakatnya.
Stephen Leahy, seorang pengamat lingkungan dan pertanian dalam
artikelnya di situs sustainabletimes menyatakan bahwa setiap kota kaya
atau miskin dapat memberdayakan warganya untuk mengatasi persoalan
lingkungan, namun hal pertama yang tidak mudah dilakukan adalah
memunculkan motivasi untuk mengubah diri.
Curitiba mampu mewujudkan dan menikmatinya sepanjang 25 tahun
terakhir ini lewat sebuah political will dan kepemimpinannya yang kuat.
(
Tulisan ini disertakan dalam lomba karya tulis memperingati HUT Kota Medan ke-422)