Sabtu, 28 Juli 2012

Simpony

Hanya ada satu kalimat yang bisa mewakili isi hatiku

Butuh kau sekarang !!

Jumat, 27 Juli 2012

RTH Medan Komoditas Produksi Sarana Komersialisasi

Oleh : Puput Julianti Damanik S.Pd
 
Ruang Terbuka Hijau merupakan sebuah kondisi dalam hal ini lingkungan, yang bermanfaat besar bagi keselamatan kehidupan seluruh makhluk hidup. RTH sangat penting kehadirannya untuk menunjang peresapan air hujan ke dalam tanah yang dapat menghindarkan bencana alam seperti banjir, tanah  longsor dan polusi udara serta juga dapat menghindarkan peningkatan suhu udara seperti yang baru-baru ini terjadi di kota Medan, yakni dengan suhu tertinggi mencapai 37 derajat celcius.

Kota Medan yang terbentang di area seluas 26,510 ha sama dengan 265,10 kliometer persegi atau 3,6 dari total luas Provinsi Sumatera Utara (baca buku panduan pariwisata Medan 2012) kini tengah dikepung oleh gencarnya pembangunan berbagai keperluan seperti mall, pertokoan, perumahan, dan berbagai sarana komersial lainnya. Pola penggunaan lahan yang seharusnya menerapkan nilai sosial telah berubah menjadi nilai profit. Hal ini lah yang menyebabkan RTH terus menyusut.

Betonisasi dari gedung ke gedung terus meningkat begitu juga dengan kawasan pemukiman kumuh. Anak-anak sudah tidak mengenal kata hijau, rimbun dan sejuk, mereka hanya terbiasa dengan indahnya hidup di masa kecil dengan berekreasi di dalam ruangan seperti mall. Situasi seperti ini memang mau tidak mau terjadi dengan alasan seiring meningkatnya jumlah penduduk, keperluan dan kebutuhan yang mendorong terciptanya ruang terbangun berkepadatan tersebut.

Bangunan-bangunan baru tersebut juga erat kaitannya dengan nilai sebuah lahan dan lokasi sentral yang dapat menghasilkan keuntungan besar khususnya bagi pemilik modal. Apalagi semakin ke arah pusat kota nilai sebuah lahan itu menjadi semakin tinggi, anggapan tersebut membuat setiap orang menyampingkan kata RTH dan mengubah lahan RTH sebagai komoditas produksi.

RTH kota yang benar-benar telah menempati lokasi strategis dianggap sebagai lahan yang tidak produktif. Contohnya di Lapangan Merdeka yang menjadi pusat kuliner atau Merdeka Walk, dahulunya menjadi tempat bermain anak-anak dan lokasi strategis tempat berteduh karena banyak pohon-pohon besar nan rindang kini telah berubah menjadi tempat wisata kuliner dengan penawaran harga yang sangat mahal. Sehingga kesenjangan antar lapisan masyarakat pun tidak dapat dihindarkan.

Hukum alam inilah yang mempercepat alih fungsi ruang terbuka kota yang berlokasi di daerah strategis yang jelas-jelas produktif untuk manusia/lingkungan tetap dianggap tidak produktif bagi sebagian orang yang memiliki kepentingan dan kemudian dikonversi seolah-olah menjadi fungsi yang produktif karena menghasilkan profit.

Padahal, ada sebuah kota kecil di Brazil, Curitibas yang dahulunya menjadi kota terkumuh, termacet dan minim RTH kini telah berbenah dengan meningkatkan rata-rata luas RTH per kapita dari 1 m2 menjadi 55 m2 selama 30 tahun. Sebagai hasilnya kota tersebut sekarangmerupakan kota yang nyaman, produktif dengan pendapatan per kapita penduduknya yang meningkat menjadi dua kali lipat. Hal inilah yang menunjukkan bahwa anggapan pengembangan RTH yang dapat mengurangi produktivitas ekonomi sebuah kota tidak terbukti.

Upaya Peningkatan RTH dan Masalah Implementasinya

Masalah peran dan penerapan RTH ternyata pemerintah lebih tahu dan menyadarinya. Maka melalui  Undang- Undang Nomor 26 tahun 2007 pemerintah mencoba melakukan upaya-upaya dalam peningkatan dan perbaikan tata ruang. Dalam sebuah kota, RTH harus mencapai 30 persen dari total luas wilayah, dengan rincian 20 persen untuk RTH Publik dan 10 persen untuk RTH Privat (baca Analisa, Sabtu 5 Juni 2012).

Dengan UU tersebut berbagai upaya sudah diterapkan, namun yang disayangkan upaya seperti sosialisasi, penyuluhan, seminar, pelatihan dan upaya legal formal lainnya minim dengan implementasinya. Akhirnya tak salah ada statement keluar menyatakan bahwa UU itu hanya gagah di laporan atau kertasnya saja.

Masalah-masalah implementasi dari upaya yang telah dilakukan sebenarnya ada di setiap individu masyarakatnya. Masalah yang muncul pertama adalah keyakinan kepada profit yang didapatkan bila membuat bangunan di perkotaan, sehingga jalur yang dibuat pemerintah untuk program RTH yang sering melibatkan lahan masyarakat berat untuk diberikan kepada pemerintah.

Selain itu, bertambahnya jumlah orang yang datang ke kota atau yang memang sudah menetap di kota, kemudian membuat pemukiman baru dan jelas berpengaruh dengan semakin bertambahnya aktifitas masyarakat tersebut. Kurangnya pengetahuan dan kesadaran masyarakat juga menambah permasalah apalagi tidak ada ketegasan tentang denda yang diberikan bagi penghancur atau perusak RTH dari pemerintah.

Pemimpin yang Kuat Dasar RTH Terwujud

Upaya yang dilakukan oleh pemerintah pusat dengan membuat UU dapat berjalan apabila tiap-tiap wilayah/kota khususnya bagi pemerintahan dalam hal ini Medan ikut memberi partisipasinya dengan menggerakkan masyarakatnya.

Beberapa saran kepada Pemko Medan yang diusulkan bukan sebuah pendekatan yang sifatnya pilihan, tapi ini lebih bermakna alternatif yang bertujuan membangun.

Pemko Medan telah melakukan kebijakan pembokaran beberapa taman kota di beberapa ruas jalan dengan tujuan mengurangi kemacetan, padahal taman kota tersebut dapat dijadikan lahan untuk membuat taman kecil yang hijau. Walikota menyebutkan bahwa pemotongan dan pembongkaran taman tidak akan mengganggu RTH, sebab pohon-pohon yang ada di taman itu kebanyakan pohong pinang biasa dan akan diganti pohon dengan pepohonan yang bisa tumbuh besar dan rindang (baca Analisa 13 Juni 2012).

Ini artinya Pemko Medan harus lebih bekerja keras lagi untuk meningkatkan RTH dengan beberapa masalah implementasi yang berhubungan dengan masyarakat khususnya penyediaan lahan, setelah itu kesadaran masyarakatnya. Karena masalah kesadaran masyarakat yang terus-terusan membangun dan merusak RTH adalah salah satu hambatan terbesar.

Untuk itu, pendekatan Pemko Medan yang dapat dilakukan adalah mencontoh Kota Curitiba atau kota kecil di Brazil yang menerapkan strategis insentif yang cerdas yakni membangun taman kota dan Recycle Center.

Masyarakat akan diberi hadiah bila memberikan sampahnya kepada Recycle Center. Sampah kemudian didaur ulang dan disulap menjadi banyak jenis kerajinan tangan. Masyarakat juga diimbau untuk dapat menanam pohon dan merawat taman. Tak heran bila Curitiba mempunyai nilai tertinggi daur ulang sampah sedunia yakni 70%, karenanya, pendapatan perkapita meningkat 66%. Pembangunan taman juga menjadi jawaban atas permasalahan banjir yang selama ini terjadi (baca www.scribd.com).

Selain itu, hal lain yang dapat dicontoh adalah kebijakan Curitiba yang mewajibkan para pengembang perumahan atau sebuah perusahaan, yang apabila ingin membangun sebuah gedung harus bersedia membuat sebuah permukiman khusus untuk para pemukiman kumuh. Jika tidak maka bangunan tersebut tidak diizinkan untuk berdiri di Curitiba.

Hal ini memang tidak semudah membalikkan telapak tangan. Pemko khususnya pemimpin yang ada di dalamnya (Walikota) selaku stake holder di Kota Medan harus dapat membuat suatu kebijakan yang dapat diterima oleh masyarakatnya.

Stephen Leahy, seorang pengamat lingkungan dan pertanian dalam artikelnya di situs sustainabletimes menyatakan bahwa setiap kota kaya atau miskin dapat memberdayakan warganya untuk mengatasi persoalan lingkungan, namun hal pertama yang tidak mudah dilakukan adalah memunculkan motivasi untuk mengubah diri.

Curitiba mampu mewujudkan dan menikmatinya sepanjang 25 tahun terakhir ini lewat sebuah political will dan kepemimpinannya yang kuat. (Tulisan ini disertakan dalam lomba karya tulis memperingati HUT Kota Medan ke-422)