Kamis, 03 Februari 2011

Pedagang yang Terpelajar

Pedagang-pedagang asongan itu ternyata ikut belajar dan memahami
selayaknya mahasiswa yang datang ke kampus untuk mencari ilmu
dengan pengalamannya, dan kemaunnya
Oleh: Puput Julianti Damanik, Zilena
Photo : Kurnia

Pagi itu, matahari terlihat mulai tinggi namun tidak terlalu terik. Kerumunan orang disana-sini yang sedang sibuk dengan aktivitasnya. Kendaraan yang berlalu lalang. Bangunan gedung yang merapat dan penuh sesak oleh kendaraan yang lewat maupun yang parkir disetiap celahnya. Sebuah gedung tertinggi dari gedung lainnya dengan tulisan UNJ mencolok dari kejauhan. Secercak menggambarkan suasana kampus yang berukuran 2 hektar dengan 24000 mahasiswa. Universitas Negeri Jakarta tepatnya.

Semua suasana yang terlihat dari kampus megah itu sangat menganggarkan kesemangatan, begitu juga dengan para pedagang asongan yang menghiasi sudut-sudut UNJ, memulai harinya dengan membawa setumpuk dagangan dengan harapan hari ini lebih beruntung dari kemarin, dan bisa menjual habis dagangannya. Tanpa harus digusur dan diusir oleh satpam kampus.

Pedagang asongan yang sering menjajakan dagangannya di kampus UNJ ternyata juga sudah sering mendapat perlakuan tegas dari pihak keamanan, untuk tidak berdagang lagi didalam area kampus. “Di kampus UNJ sendiri memang ada peraturan yang melarang pedagang asongan untuk masuk ke wilayah perkulihan, dan selaku petugas keamanan kami harus menertibkan mereka,” jelas Bambang Supriadi selaku Kepala Satpam UNJ.

Tapi apalah daya, untuk hal yang satu itu memang mereka siap untuk mati. Makan dan biaya Pendidikan anak atau keluarganya pasti. “Ini urusan perut, cari makan di Jakarta itu mah susah, belum lagi biaya pendidikan. Ilmu itukan mahal.” Ungkapan singkat yang dilontarkan oleh salah satu pedagang kopi mas Agus nama akrabnya, sebenarnya sudah jadi perwakilan dari semua pedagang asongan yang ada di kampus UNJ, atau mungkin di seluruh Indonesia. 

Satu lagi cerminan pemerintahan Indonesia yang bobrok. Pendidikan contohnya. Dengan tawaran yang begitu mahal, memaksa orangtua harus berusaha semaksimal mungkin. Malah sampai mereka nekat dan berani untuk masuk ke area yang memang dilarang untuk dimasukin oleh pedagang. Hanya untuk mencari dan terus mencari satu kata yang mewakili kehidupan di dunia ini. UANG !

Bukan hanya orangtua yang berusaha mempertahankan kehidupannya itu. Namun juga seorang anak yang seharusnya duduk di sekolah dengan seragam bersih dan rapi serta ditemani oleh guru yang professional. Belajar, mengerti dan memahami semilyaran ilmu di dunia, ikut menjadi korban.

Ini salah satu citra Kebudayaan Indonesia. Siapa yang Lemah, tak punya kekuasaan siap untuk tersingkirkan. Hanya saja bagaimana cara kita menempatkan diri dan terus menggali potensi yang ada pada diri kita sendiri. Pedagang asongan sekalipun jika dapat menempatkan dirinya dimana saja, tetap bisa belajar.

Begitu juga dengan pedagang yang ada di kampus UNJ, selayaknya mahasiswa yang datang ke kampus untuk mencari ilmu dan pengetahuan mendalam tentang satu ilmu yang diminatinya. Pedagang asongan juga seperti mahasiswa. Selain datang untuk menawarkan dagangannya, mereka juga sering sharing dengan mahasiswa. Anton contohnya, seorang penjual minuman botol perantau Yogyakarta yang biasa mangkal di koridor depan Jurusan Seni Musik UNJ mengakui bahwa sekarang dia dapat membedakan alat-alat musik. bahkan tak jarang pula dia ikut memainkan alat musik tersebut bersama mahasiswa Seni Musik. Misalnya gitar, biola dan piano.

Intinya kita bisa belajar dimanapun kita berada. Kuliah mahal dengan fasilitasnya, juga belum memastikan dan menjanjikan ilmu untuk kita.

Contohnya lagi Mas Agus yang sudah hampir 10 tahun menjadi pedagang kopi yang biasa mangkal di depan laboratorium Ekonomi kampus UNJ. Retorika dia tidak mencermikan seorang pedagang asongan yang pendidikannya cuma sampai kelas 3 SD saja. Dia banyak tahu tentang pendidikan. Bahkan dengan bedagang kopi saja ia bisa mensekolahkan adik-adiknya sampai ke perguruan tinggi ternama di Indonesia. Satu sosok manusia yang belajar dari pengalaman dan pemahamannya. Bukan dari sekolahnya. Dia lah Mas Agus seorang pedagang yang terpelajar.

Pendidikan “Alat Menghabiskan anggaran”

Oleh : Puput Julianti Damanik
Dinegeri permai ini,
Berjuta rakyat bersimbah luka
Anak kurus tak SEKOLAH
Pemuda desa tak kerja
Bait kedua lagu darah juang oleh John Sonny Tobing tersebut, telah mewakili kekecewaan putra-putri Indonesia terhadap pemerintahan Negara Indonesia, khususnya dalam dunia pendidikan. Kenapa tidak, pada hakekatnya pendidikan itu merupakan sebuah sarana  dalam mempersiapkan sumber daya manusia yang berkualitas. Maka dari itu Pendidikan sangatlah penting bagi putra-putri Indonesia dalam meningkatkan mutu dan kualitas selaku generasi penerus bangsa.
Namun kenyataan yang dapat kita lihat bahwa masih banyak masyarakat Indonesia yang tidak bersekolah. Hal ini terjadi karena kurangnya peran pemerintah sebagai salahsatu stake holder dari pendidikan tersebut. Pemerintah merupakan  pengatur dalam penyediaan  komponen dasar pendidikan yang meliputi alat-alat dan sarana prasarana, serta process (metode pembelajaran).
Berbagai upaya telah dilakukan oleh pemerintah kita dalam meningkatkan pendidikan di Indonesia. melalui UU sistem pendidikan nasional no 20 tahun 2003 pemerintah mencanangkan wajib belajar pendidikan dasar 9 tahun (Wajar Dikdas), Biaya Operasional Sekolah (BOS) untuk tingkat Sekolah Dasar (SD) sampai tingkat Sekolah Menengah Pertama (SMP), pendidikan SD gratis, dan program lainnya. Namun  upaya-upaya tersebut dianggap belum dapat membesarkan dan memperbaiki pendidikan di Indonesia. Karena faktanya anggaran tersebut tidak sampai ke tangan anak-anak yang membutuhkannya.
Prof Suyanto, Ph.D Dirjen Mandikdasmen mengatakan bahwa secara umum tujuan program BOS adalah meringankan beban pembiayaan pendidikan dalam rangka wajib belajar 9 tahun yang bermutu. Dan secara khusus bertujuan untuk menggratiskan seluruh siswa miskin di tingkat SD, SMP Negeri dari beban biaya operasional sekolah, dan meringankan beban biaya operasional sekolah bagi siswa di sekolah swasta. Namun aplikasinya dan realitanya di lapangan adalah bahwa siswa di sekolah Negeri tetap harus membayar uang iuran, bangunan, bahkan uang buku paket pelajaran.
Ditambah lagi dengan banyak sekolah yang biayanya sangat mahal dari tahun ketahun. Harga untuk masuk ke Taman Kanak-Kanak (TK) hingga Perguruan Tinggi (PT) membuat kalangan bawah tidak memiliki pilihan lain, kecuali tidak  bersekolah dan bekerja.
Untuk masuk TK, Sekolah Dasar (SD), Sekolah Menengah Pertama (SMP) sampai Sekolah Menengah Atas (SMA) saja saat ini dibutuhkan biaya jutaan rupiah, bahkan ada yg memungut diatas dua juta rupiah. Tidak sampai disitu saja, untuk meneruskan pendidikan di PT pun membuat semua orang berpikir panjang.
“Untuk apa kuliah, lebih baik cari kerja dan menghasilkan duit, daripada kuliah dan akhirnya jadi pengangguran juga.” Inilah ungkapan-ungkapan yang sering terdengar dari masyarakat yang sebenarnya kecewa dan patah semangat karena mahalnya pendidikan tersebut. padahal, biaya sekolah yang mahal juga belum menjamin pendidikan yang baik.
Becermin dari kejadian seperti ini, dapat disimpulkan bahwa  pemerintah kita masih belum maksimal dalam pencapaian wajib belajar, dan permerhatian pendididkan Indonesia. Anggaran-anggaran yang dikeluarkan untuk pendidikan malah tempat membiayai para penjabat tinggi untuk bersenang-senang.
Sehingga dapat disimpulkan bahwa orang yang banyak uanglah yang dapat mengenyam pendidikan. Memang satu hal yang kita sayangkan di Negara maju seperti Negara kita Indonesia.
Tidak sampai disitu, hal lain terjadi untuk memperparah kasus tersebut,kali ini permasalahannya adalah sarana, prasarana dan layanan pendidikan yang memang terlihat sangat memprihatinkan, Terutama didaerah-daerah terpencil yang belum dilengkapi perpustakaan, komputer, ruangan laboratorium praktek, apalagi Internet. Hal seperti ini terjadi di sekolah-sekolah yang berada di desa. Fasilitas seperti yang diterangkan diatas sangat minim, maka tidak heran jika orang gaptek sering disebut orang kampungan. Bagaimana Indonesia dapat bersaing dikanca Internasional kalau seperti ini tatanan, dan permasalahannya ?
Dalam suatu majalah Asia Week dinyatakan Indonesia belum masuk 20 besar dibidang kemajuan saince dan technology. Seharusnya perkara tersebut menjadi PR untuk kita semua selaku Warga Negara Indonesia dan kita peserta didik yang merupakan generasi penerus bangsa.
Terlepas dari permasalahan mahalnya pendidikan dan kurangnya sarana, prasarana  layanan pendidikan dari pemerintah, Rancangan Undang-Undang (RUU) sisitem Pendidikan  terkesan sangat ribet dan masih kontroversi membuat pendidikan, baik pendidikan formal, informal dan nonformal, tidak memiliki kejelasan. Bukan hanya itu, kita juga harus memperhatikan kualitas pendidiknya. Karena tercapainya tujuan pendidikan Nasional sebenarnya diukur dari kecerdasan dan kualitas peserta didik. Hasil pencapaian tersebut juga tergantung dari kualitas pendidikannya sendiri, dalam hal ini adalah Guru.
Karena kenyataannya bahwa masih banyak guru-guru di sekolah dasar sampai tingkat menengah atas yang mengajar namun tidak sesuai dengan jurusannya yang diembannya di bangku kuliah. Bahkan masih ada guru yang mengajar sampai 3 mata pelajaran sekaligus dalam satu sekolah atau lain sekolah.
Memang jika kita berbicara tentang pendidikan tidak akan pernah ada habisnya, karena pendidikan merupakan salahsatu devisa tinggi yang dimiliki oleh seseorang dalam mencari kehidupan yang layak, misalnya dalam dunia kerja. Untuk menjadi seorang pembantupu sekarang dilihat tamatan maupun ijazah terakhirnya.
Berbagai upaya yang telah dilakukan oleh pemerintah sampai saat ini belum menunjukan keberhasilan. Seharusnya pemerintahan harus bisa memandang dan mengatur strategi atau usaha yang baru dalam pembenaan pendidikan Indonesia kedepan sehingga Indonesia mampu bersaing dengan Negara-negara lainnya. Jika penduduk Indonesia dapat bersekolah, maka jelas Sumberdaya manusia Indonesia  menjadi bermutu, sehingga kita tidak perlu membayar mahal kepada orang lain.
Dengan permasalahan tersebut diharapkan pemerintah dapat melaksanakna upaya dan usaha baru seperti melengkapi sarana dan fasilitas  seperti komputer, ruang Laboratorium, dan Internet sehingga bukan hanya teori saja yang didapat, namun prakteknya juga diterima. yang kedua mengadakan  sosialisasi, dan perhatian-perhatian yang lebih untuk mengamati pendidikan di Desa terpencil. Ketiga, membantu  siswa untuk terus bersekolah dengan memurahkan uang sekolah, dan menambah Biaya Operasional Sekolah sampai tingkat SMA, Mengadakan studi banding sebagai perbandingan untuk perbaikan pendidikan di Indonesia, serta mendatangkan guru-guru dari luar negeri  yang kualitas  pendidikannya bagus, misalnya Jepang, Amerika dan lainnya. 
Perbedaan layanan pendidikan didesa dan dikota merupakan salahsatu bentuk Keberpihakan pendidikan, dan kita mengharapkan kejadian ini tidak akan terulang lagi, sehingga perkembangan pendidikan khususnya teknologi dapat dirasakan oleh seluruh lapisan masyarakat.
Marilah kita saling mendukung dan berpartisipasi untuk kemajuan pendidikan bangsa  kita, dengan tujuan yang bulat yakni melahirkan generasi-generasi yang benar-benar berpotensi positif dan berbakat, sehingga mampu bersaing dan melahirkan SDM yang bermutu di Indonesia. Dengan biaya yang dapat dijangkau oleh seluruh Warga Negara Indonesia .
Dan pemerintah selaku penanggungjawab utama  pendidikan Indonesia, harus mampu menyeimbangkan dan memanage anggaran yang dikeluarkan untuk pendidikan. Sehingga tidak jatuh ke tangan-tangan yang tidak berakal.