Selasa, 07 Agustus 2012

Yang Kembali Menyiksa

Yelfitria Roza

Lenyap, lenyap semua tentang kamu benar-benar lenyap. Semua yang membawa aku pada kenangan lalu denganmu hilang sudah, lenyap tak berbekas seperti asap meninggalkan api, tak lagi dapat teraba. Sial ! Mungkin itu kata yang tepat untuk menggambarkan apa yang terjadi. Ya, sial ! Semua rasa yang pernah tergambar tentang kamu dalam coretan-coretan yang tak pernah berdusta itu lenyap, menguap bersama udara yang lolos lewat lubang hidung ini. Mungkin tuhan memang berniat memisahkan kita. Ya, mungkin segala tentang kamu harus sudah usai. Harus sudah tutup buku. Semua yang lalu harus sudah khatam, biarkan saja berlalu. Sial! Sayangnya aku belum rela. Kenapa, kenapa harus begini adanya? Setan! Bangsat!

Hari ini aku harus menghadapi hari dengan luka yang membara, luka karena aku harus terima kenyataan bahwa aku harus tanpamu. Sedih, Pedih, pasti! Sayangnya dunia tak mau mengerti kalau saat ini hati sedang tak ingin berdusta, tak ingin tertawa. Payah ! Dunia selalu saja menuntut bahwa harus selalu ada tawa atau setidaknya sebuah senyuman untuk menyambut kehadiran mentari. Ah, basa-basi dan semua adalah basi. Kepalsuan yang disyaratkan.

Tak apa, aku pasti bisa hadapi hari dengan gagah. Walau semua hanya dalam rupa kepalsuan. Toh, dunia memang tempat segala kepalsuan ada. Dunia adalah sebuah kepalsuan. Muka yang palsu, hati yang palsu, rasa yang pulsa, suara yang palsu, erang penuh kepalsuan. Ya, dengan seluruh hembus nafas, dan semangat yang hampir buntu, aku pasti bisa mengalahkan kau hari yang penuh kepalsuan. Walau harus dengan rupa penuh kepalsuan pula. Tenang, akan aku ciptakan kepalsuan-kepalsuan yang akan membuatmu membelalakan mata. Atas nama kepalsuan aku akan mengukir sejarah.

Lihat saja, ini belum usai. Masih panjang hari terbentang, bahkan ini hari masih pagi, masih akan lama malam menyapa. Yang berarti aku harus masih menggauli dunia penuh kebosanan ini untuk waktu yang akan membunuhku dengan setiap jengah yang mengangkangi. Ya, waktu penuh kebosanan. Seperti kuliah yang waktu ini kuikuti. Sungguh membosankan. Aku sendiri heran, kenapa dari bangku kulia ini, dari ruang ini, aku tidak pernah mendapatkan apa-apa. Atau mungkin belum? Entahlah, aku serasa tidak bisa menangkap apapun bila berada dalam ruang yang membelengguh waktu dan gerakku. Aku merasa ditawan, hingga aku menolak apa yang hendak mereka sumpalkan kedalam kepalaku ini. Heran, dosen ini kok diyah. Heran, dosen ini kok doyan sekali ngoceh. sudah hampir 2 jam dan ia belum bosan juga. Kok bisa? Kalau aku, pastilah sudaj bosan. Lalu kalau bosanku tak mau didamaikan, aku pasti mengamuk. Aneh, ya, perbedaan itu. Tak masuk akal. Mungkin itu pula kenapa orang bisa ribut karena perbedaan. Karena perbedaan itu tidak masuk akal. Dan tidak akan pernah bisa masuk akal karena logika yang dipakai berbeda.

Tapi tenang, aku punya obat mujarab untuk membunuh kebosanan ini, Lagi pula tinggal setangah jam lagi perkuliahan ini akan berakhir. Sebenarnya, aku menyukai mata kuliah dan proses kuliah yang membosankan karena memberiku kesempatan untuk membiarkan anganku melayang liar, jariku menari nakal di atas kertas-kertsa yang patuh ataupun di lembar-lembar papan bangku-bangku kuliah yang selalu diam membisu dengan angan digedung ini. Coba saja periksa berapa banyak sudah papan-papan putih yang kemudian tampak cantik oleh isi-isi kepalaku, yang penuh cerca rupa dan amuk rasa

Dan seperti yang lalu-lalu juga, saat ini aku membunuh kebosanan ini, aku menulis tentang kamu. Aku menggambar kamu lewat kata. Aku menumpahkan rasa melalui makna yang terjelma dalam huruf yang tak pernah berdusta. Aku hanya ingat kamu. Dalam ruang pengap penuh belengguh ini, aku menggauli aromamu lewat rasa yang tergambar dalam kalbu. Kata demi kata, baris demi baris menjelma menjadi rupa yang ,memenuhi kertas-kertas yang tadinya suci. Kini kertas-kertas yang tadinya suci. Kini kertas-kertas itu ternoda, ternoda oleh kelebat-kelebat tentang kamu. Aku sudah tak lagi peduli dengan perkuliahan yang berlangsung. Tak mampir lagi di telingaku apa yang ditumpahkan dosen ini dalam jata berbentuk suara. Semua yang ada hanya tentang kamu. Kamu yang seharusnya sudah mati. Mati bersama lembar-lembar yang lenyap. Tapi kamu bangkit lagi. Bangkit lagi untuk timbulkan penyakit hati ini, Brengsek ! kenapa aku tidak bisa tanpamu? kenapa? kenapa?

Bersambung ....