Yelfitria Roza
Lenyap, lenyap
semua tentang kamu benar-benar lenyap. Semua yang membawa aku pada
kenangan lalu denganmu hilang sudah, lenyap tak berbekas seperti asap
meninggalkan api, tak lagi dapat teraba. Sial ! Mungkin itu kata yang
tepat untuk menggambarkan apa yang terjadi. Ya, sial ! Semua rasa yang
pernah tergambar tentang kamu dalam coretan-coretan yang tak pernah
berdusta itu lenyap, menguap bersama udara yang lolos lewat lubang
hidung ini. Mungkin tuhan memang berniat memisahkan kita. Ya, mungkin
segala tentang kamu harus sudah usai. Harus sudah tutup buku. Semua
yang lalu harus sudah khatam, biarkan saja berlalu. Sial! Sayangnya aku
belum rela. Kenapa, kenapa harus begini adanya? Setan! Bangsat!
Hari
ini aku harus menghadapi hari dengan luka yang membara, luka karena aku
harus terima kenyataan bahwa aku harus tanpamu. Sedih, Pedih, pasti!
Sayangnya dunia tak mau mengerti kalau saat ini hati sedang tak ingin
berdusta, tak ingin tertawa. Payah ! Dunia selalu saja menuntut bahwa
harus selalu ada tawa atau setidaknya sebuah senyuman untuk menyambut
kehadiran mentari. Ah, basa-basi dan semua adalah basi. Kepalsuan yang
disyaratkan.
Tak apa, aku pasti bisa hadapi hari dengan gagah.
Walau semua hanya dalam rupa kepalsuan. Toh, dunia memang tempat segala
kepalsuan ada. Dunia adalah sebuah kepalsuan. Muka yang palsu, hati
yang palsu, rasa yang pulsa, suara yang palsu, erang penuh kepalsuan.
Ya, dengan seluruh hembus nafas, dan semangat yang hampir buntu, aku
pasti bisa mengalahkan kau hari yang penuh kepalsuan. Walau harus
dengan rupa penuh kepalsuan pula. Tenang, akan aku ciptakan
kepalsuan-kepalsuan yang akan membuatmu membelalakan mata. Atas nama
kepalsuan aku akan mengukir sejarah.
Lihat saja, ini belum usai.
Masih panjang hari terbentang, bahkan ini hari masih pagi, masih akan
lama malam menyapa. Yang berarti aku harus masih menggauli dunia penuh
kebosanan ini untuk waktu yang akan membunuhku dengan setiap jengah
yang mengangkangi. Ya, waktu penuh kebosanan. Seperti kuliah yang waktu
ini kuikuti. Sungguh membosankan. Aku sendiri heran, kenapa dari bangku
kulia ini, dari ruang ini, aku tidak pernah mendapatkan apa-apa. Atau
mungkin belum? Entahlah, aku serasa tidak bisa menangkap apapun bila
berada dalam ruang yang membelengguh waktu dan gerakku. Aku merasa
ditawan, hingga aku menolak apa yang hendak mereka sumpalkan kedalam
kepalaku ini. Heran, dosen ini kok diyah. Heran, dosen ini kok doyan
sekali ngoceh. sudah hampir 2 jam dan ia belum bosan juga. Kok bisa?
Kalau aku, pastilah sudaj bosan. Lalu kalau bosanku tak mau didamaikan,
aku pasti mengamuk. Aneh, ya, perbedaan itu. Tak masuk akal. Mungkin
itu pula kenapa orang bisa ribut karena perbedaan. Karena perbedaan itu
tidak masuk akal. Dan tidak akan pernah bisa masuk akal karena logika
yang dipakai berbeda.
Tapi tenang, aku punya obat mujarab untuk
membunuh kebosanan ini, Lagi pula tinggal setangah jam lagi perkuliahan
ini akan berakhir. Sebenarnya, aku menyukai mata kuliah dan proses
kuliah yang membosankan karena memberiku kesempatan untuk membiarkan
anganku melayang liar, jariku menari nakal di atas kertas-kertsa yang
patuh ataupun di lembar-lembar papan bangku-bangku kuliah yang selalu
diam membisu dengan angan digedung ini. Coba saja periksa berapa banyak
sudah papan-papan putih yang kemudian tampak cantik oleh isi-isi
kepalaku, yang penuh cerca rupa dan amuk rasa
Dan seperti yang lalu-lalu juga, saat ini aku membunuh kebosanan ini, aku menulis tentang kamu. Aku menggambar kamu lewat kata. Aku menumpahkan rasa melalui makna yang terjelma dalam huruf yang tak pernah berdusta. Aku hanya ingat kamu. Dalam ruang pengap penuh belengguh ini, aku menggauli aromamu lewat rasa yang tergambar dalam kalbu. Kata demi kata, baris demi baris menjelma menjadi rupa yang ,memenuhi kertas-kertas yang tadinya suci. Kini kertas-kertas yang tadinya suci. Kini kertas-kertas itu ternoda, ternoda oleh kelebat-kelebat tentang kamu. Aku sudah tak lagi peduli dengan perkuliahan yang berlangsung. Tak mampir lagi di telingaku apa yang ditumpahkan dosen ini dalam jata berbentuk suara. Semua yang ada hanya tentang kamu. Kamu yang seharusnya sudah mati. Mati bersama lembar-lembar yang lenyap. Tapi kamu bangkit lagi. Bangkit lagi untuk timbulkan penyakit hati ini, Brengsek ! kenapa aku tidak bisa tanpamu? kenapa? kenapa?
Bersambung ....
Tidak ada komentar:
Posting Komentar